Bid'ah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teks dan terjemah Hadits
وحدثني محمد بن المثنى حدثنا عبدالوهاب بن عبدالمجيد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا خطب احمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش يقول صبحكم ومساكم ويقول بعثت أنا والساعة كهاتين ويقرن بين أصبعيها لسبابة والوسطى ويقول أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ثم يقول أنا أولى بكل مؤمن من نفسه من ترك مالا فلأهله ومن ترك دينا أو ضياعا فإلي وعلي
[Muslim no: 867]
Muhammad ibn Mutsanna telah menceritakan kepadaku: Abdul Wahhab bin Abdul Majid menceritakan kepada kami, dari Ja’far bin Abdullah. Beliau berkata: Rasulullah SAW ketika berkhutbah, kedua mata beliau merah, suaranya lantang, dan emosinya menggebu-gebu, sampai seakan-akan beliau pemberi peringatan pasukan yang berkata: Musuh akan datang di pagi hari, musuh akan datang di sore hari. Beliau bersabda: Aku diutus ketika hari kiamat seperti dua jari ini. Beliau menggabungkan jari telunjuk dan jari tengah. Beliau juga bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat. Kemudian beliau bersabda: Aku lebih utama bagi setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan hartanya, maka itu milik keluarganya. Dan barangsiapa meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka itu adalah tanggung jawabku.



B.     Takhrij
Hadits di atas kami takhrij menggunakan software Gawame Al-Kalem v4.5. Dari takhrij yang kami lakukan terhadap hadits tersebut, kami menemukan bahwa hadits ini dicantumkan setidaknya dalam 4 kitab.
Kitab
No.
Shahih Muslim
870
Sunan Ibn Majah
45
Shahih Ibn Hibban
10
Sunan Kubro An-Nasa’i
213:3
Selain itu kami juga mencoba untuk melihat redaksi dalam kitab asalnya hingga akhirnya kami temukan pada halaman 385 pada “bab Takhfif as-shalah” dalam “kitab Jum’ah”. Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari tiga jalur yang berbeda hingga bertemu pada Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali..
C.    Penjelasan Hadits
Dari keterangan yang kami dapatkan, hadits ini menjelaskan tentang keadaan Nabi ketika sedang berkhutbah Jum’at di atas mimbar. Disebutkan bahwa ketika berkhutbah, mata Nabi memerah dengan suara yang lantang serta menggebu-gebu. Dalalm khutbah ini Nabi bersabda sebagai bentuk peringatan bahwa jarak antara hari kiamat dan masa kenabian Beliau sangat dekat. Hal ini diungkapkan dengan isyarat menggunakan jari telunjuk dan jari tengah Beliau.
Selanjutnya Nabi menyebutkan dalam khutbah mengenai posisi al-qur’an dan hadits sebagai pijakan bagi umat Islam serta mengatakan bahwa hal yang diada-adakan merupakan bid’ah yang sesat.
Imam Nawawi menjelaskan kata “bid’ah” dalalm hadits ini “sebagai suatu hal yang baru tanpa ada contoh sebelumnya”. Selain itu beliau juga membagi bid’ah ke dalam lima bagian, yaitu wajibah, mandubah, mubah, makruhah, dan muharramah.[1]
D.    Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara bahasa berarti setiap hal baru yang pertama kali ditemukan dan tidak ada contuh tentang hal tersebut pada masa sebelumnya, hal baru ini bisa berhubungan dengan urusan dunia maupun agama, seperti aqidah, ibadah, atau muamalah. Sedangkan pengertian bid’ah menurut syariat adalah setiap hal baru yang bertentangan dalil-dalil syar’i di mana hal baru tersebut berhubungan dengan urusan agama. Dengan kata lain hal baru yang berhubungan dengan urusan maslahat umat manusia tidak disebut dengan bid’ah.[2]
Ulama memiliki beberapa pendapat mengenai pengertian bid’ah dalam syariat ini. Di antaranya adalah ungkapan beberapa ulama’ yang dikutip oleh Dr. Abdul Ilah bin Husain berikut: [3]
a.       Ibn Taimiyyah: bid’ah adalah hal yang bertentangan dengan teks-teks Islam adalah bid’ah. Hal ini merupakan kesepakatan Ulama. Dan hal-hal yang belum diketahui bertentangan terkadang tidak disebut bid’ah”.
b.      Ibn Hajar: bid’ah adalah hal baru yang diciptakan serta tidak memiliki dalil syar’i.
Sementara itu menurut as-Syathibi bid’ah merupakan sebuah istilah tentang tata cara dalam agama yang dibuat dan menyerupai syariat untuk diekspresikan secara berkebihan dalam beribadah kepada Allah.[4] Selain beberapa pngertian yang telah disebutkan, masih banyak pendapat lain mengenai pengertian bid’ah.
E.     Perbedaan Pendapat Tentang Bid’ah
Dengan banyaknya pengertian mengenai bid’ah yang diungkapkan oleh ulama, penerapan pemahaman tentang hal-hal yang termasuk bid’ah juga berbeda-beda. Perbedaan ini muncul dalam penentuan mana yang termasuk bid’ah yang sesat sebagaimana sabda Nabi dan mana yang bukan. Berikut ini adalah tiga madzhab ulama dalam menentukan hal-hal yang termasuk bid’ah yang sesat dan yang bukan.[5]
a.       Madzhab pertama mengatakan bahwa segala sesuatu yang baru, baik dalam urusan agama maupun bukan, akan selalu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Nushush Syari’ah dan ijtihad para ulama yang digunakan sebagai standar dalam penentuan hukum bagi hal baru tersebut. Pendapat ini diungkapkan oleh kelompok muwassi’in.
b.      Madzhab kedua berpendapat bahwa segala hal baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi, Sahabat, ataupun pada masa as-salaf as-shalih adalah bid’ah yang tercela dan sesat. Mereka yang mengikuti madzhab ini disebut kelompok Mudhayyiqin.
c.       Madzhab ketiga memiliki pendapat bahwa hal baru dalam agama yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan nushus syariat tidak disebut dengan bid’ah. Akan tetapi diberi nama dengan hukum syar’i yang sesuai, baik itu wajib, mustahab, dan lain-lain.
Dari ketiga madzhab tersebut penulis menemukan bahwa antara madzhab pertama dan ketiga hanya berbeda mengenai penamaan. Madzhab pertama membagi “sesuatu yang baru” ke dalam bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela. Hal ini disandarkan kepada ijtihad ulama yang disandarkan kepada nash-nash syariat. Sementara madzhab ketiga mengklasifikasikan “hal baru” dengan disesuaikan kepada hukum syariat, tidak menyebutnya sebagai bid’ah. Kedua kelompok ini memilikipandangan yang lebih terbuka dalam memandang hal yang dianggap baru. Berbeda dengan madzhab kedua yang menyatakan bahwa seluruh hal baru yang tidak terdapat pada masa Nabi, sahabat, dan salafus Shalih adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.
F.     Pembagian Bid’ah
Pada dasarnya pengklasifikasian bid’ah terbangun atas dua macam madzhab (kelompok), pertama, kelompok yang memahami bid’ah secara tekstual yang cenderung memaknai bid’ah dengan pengertian yang sempit. Dan kedua, kelompok yang memaknai bid’ah dengan arti yang luas, dengan memperhatikan aspek kemungkinan adanya indikasi makna lain (qarinah) dan perbandingan dengan kalimat sebelumnya (muqabalah). Akan tetapi penulis  hanya akan menggunakan / menampilkan satu macam bentuk madzhab yang penulis anggap sesuai (relevan) dengan zaman sekarang berikut dengan dasar yang melatar belakangi pemahaman terkait bid’ah tersebut. Seperti berikut :
Satu riwayat menyebutkan, tidak diragukan bahwa perkara-perkara baru itu terbagi menjadi yang baik dan yang buruk. Jelasnya,setiap perkara yang tidak ditopang dalil yang diakui secara syar’i merupakan bid’ah yang tercela, meskipun pelakunya pelakunya menguatkan dengan berbagai macam syubhat dan penafsiran. Sedangkan setiap perkara yang memiliki dalil dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas atau dalil-dalil yang direkomendasikan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka hal tersebut merupakan perbuatan yang baik, wakaupun belum pernah ada pada masa kenabian.[6] 
Berdasarkan keterangan riwayat diatas, Imam Syafi’i sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim mengatakan : “ Bid’ah itu terbagi atas dua macam, bid’ah yang sesuai dengan sunnah (terpuji)[7] dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah (tercela).”[8] Pada riwayat lain Imam Syafi’i yang disebutkan oleh Baihaqi dalam manaqibnya menjelaskan bahwa Imam Syafi’i berkata, “hal-hal baru terbagi menjadi dua :[9]
1.      Sesuatu yang diciptakan (ahdatsa) bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan atsar, maka hal baru tersebut disebut bid’ah yang sesat (dlolalah).
2.      Hal baru yang diciptakan namun termasuk dalam perkara yang baik (al-khoir/hasanah) dan tidak bertentangan dengan sesuatu apapun dari syari’at, hal baru yang semacam ini disebut bid’ah yang tidak tercela (al-khoir/hasanah).[10]
Mengacu pada riwayat diatas, syaikh al-Islam Izzuddin Ibnu Abdussalam As-Syafi’i (w. 660 H) dan muridnya Imam Syihabuddin al-Qarafi (Ahmad Ibnu Idris Al-Maliki, w. 684 H), keduanya mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima macam :[11]
1.      Bid’ah Wajib
Yaitu bid’ah yang terkandung pada kaidah-kaidah wajib dan dalil-dalil wajib.
Contoh : Kodifikasi al-Qur’an.
2.      Bid’ah Haram
Yaitu bid’ah yang terkandung pada kaidah-kaidah haram dan dalil-dalil haram. Contoh : Rahbaniyah (kependetaan, mengharamkan diri menikah demi berkonsentrasi beribadah kepada Allah swt).
3.      Bid’ah Mandubah (dilakukan mendapat pahala, tidak dilakukan tidak apa-apa, sama seperti sunnah)
Yaitu bid’ah yang terkandung pada kaidah-kaidah nadb (dianjurkan) dan dalil-dalil nadb. Contoh : Sholat tarawih berjama’ah.
4.      Bid’ah Makruh
Yaitu bid’ah yang terkandung pada kaidah-kaidah karahah (dibenci) dan dalil-dalil karahah. Contoh : mengkhususkan hari-hari tertentu yang memiliki keutamaan untuk beribadah dan menghiasi masjid.
5.      Bid’ah Mubah (bid’ah yang diperbolehkan)
Yaitu bid’ah yang terkandung pada kaidah-kaidah ibahah (dibolehkan) dan dalil-dalil ibahah. Contoh : berinovasi (berkreasi) dalam hal makanan.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai bid’ah di atas. Penulis menarik beberapa kesimpulan sementara. Di antaranya:
1.      Bid’ah secara bahasa berarti hal yang baru ditemukan/diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.
2.      Dalam pembahasan ini ditemukan tiga madzhab ulama mengenai bid’ah.
Pertama, madzhab yang memandang bahwa setiap hal baru selalu ada yang baik dan ada yang buruk. Jika dikaitkan dengan urusan agama maka ijtihad ulama yang didasarkan pada nushush syariah digunakan sebagai standar dalam penentuan baik dan buruknya.
Kedua, madzhab ini menyatakan bahwa setiap hal baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi, Sahabat, dan Salaf as-Shalih adalah bid’ah yang sesat.
Ketiga, madzhab ketiga mengatakan bahwa hal baru yang sesuai dengan dalil-dalil syariat tidak disebut dengan bid’ah, tetapi diberi nama sesuai dengan hukum syar;i yang ada (wajib, mubah, dan lain-lain).
3.      Imam as-Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah Hasanah dan bid’ah Dhalalah.
4.      Izzuddin bin Abdussalam dan al-Qarafi membagi bid’ah  menjadi lima, yaitu wajib, haram, mandubah, makruh, dan mubah.




[1] software Gawame Al-Kalem v4.5. penjelasan ini kami temukan dalam Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi.
[2] DR. Abdul Ilah Bin Husain Al-‘Arfaj, ”Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih, (Surakarta: Al-I’tishom, , 2013), Cet. 1, hlm.35
[3] DR. Abdul Ilah Bin Husain Al-‘Arfaj, ”Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih,hlm.36
[4] As-Syathibi, Al-I’tisham, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), cet.3,hlm.5
[5] Dr. Abdul Ilah bin Husain Al-‘Afraj, Konsep bid’ah dan toleransi fiqih, hlm.37-38
[6] DR. M. Abdurrahman Darraz, ”Barometer Sunnah Bid’ah-Mengapa Muncul Bid’ah?”. (Surakarta: Wacana Ilmiah Press,  2011), Cet.1,hlm.62.
[7] Demikian dikutip dari al-Faqih Ibnu Hajar al-‘Haitsami dalam Syarhul Arba’in An-Nawawi, (DR. Darraz).
[8] DR. M. Abdurrahman Darraz, ”Barometer Sunnah Bid’ah-Mengapa Muncul Bid’ah?”,hlm.63.
[9] DR. Abdul Ilah Bin Husain Al-‘Arfaj, ”Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih”. Surakarta: Al-I’tishom, Cetakan 1, 2013.hlm.43.
[10] Demikian dikutip dari Al-Muhaddits Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Syarhul Bukhari, kitab Al-I’tishom bil kitab was-sunnah. (DR. Darraz)
[11] DR. Abdul Ilah Bin Husain Al-‘Arfaj, ”Konsep Bid’ah & Toleransi Fiqih”.hlm.42


contoh bid'ah, bid'ah menurut imam syafi'i, pengertian bid'ah, bid'ah dalam islam, bid'ah adalah, bid'ah dalam masyarakat, bid'ah hasanah, bid'ah dalam shalat

Comments

Popular posts from this blog

Schleiermacher pioneering philosophical hermeneutics

technology definition

how to stay cool even in the low light Selfie