sejarah ilmu tajwid



BAB II
PEMBAHASAN
  1. SEJARAH TAJWID DAN QIRA’AT PADA MASA NABI
Nabi Muhammad pernah membacakan Al-Qur’an kepada sahabat Ubay bin Ka’ab atas perintah Allah untuk mengajarinya serta menunjukkan tata cara membaca yang benar, tempat-tempat waqof dan bentuk lagu. Hal ini dipandang perlu karena syari’at telah membatasi lagu-lagu yang boleh digunakan ketika membaca al-qur’an. Sebab penggunaan lagu dalam membaca al-Qur’an dapat mempengaruhi pada kejiwaan seseorang yang membacanya. Ilmu tajwid dengan beragam istilah yang ada didalamnya secara teoritis itu memang ditulis bukan dimasa Rosulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam ayat 4, surah al-Muzammil:

وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا ……

“…..Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan).” Kemudian baginda SAW  mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil.

Sayyidina Ali r.a. apabila ditanya tentang apakah maksud bacaan al-Quran secara tartil itu ?, maka beliau menjawab adalah membaguskan sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada tempat yang betul”.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama’ yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah Saw.
Ketika agama islam melebarkan sayap keseluruh penjuru dunia, lalu orang-orang non Arab masuk islam berbondong-bondong, seketika itu mulailah muncul masalah dalam teknik membaca al-Qur’an. Lidah mereka sulit sekali mengucapkan huruf “dhad” yang ternyata tidak pernah ada didalam semua bahasa manusia. Sehingga bahasa arab dikenal juga dengan sebutan bahasa “dhad”.
Maka dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri tentang bagaimana cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar, sesuai dengan makhraj masing-masing huruf dan sifat-sifatnya. Dan bagaimana cara melafadzkannya, membacanya dari mushaf dan seterusnya. Di masa Rasulullah SAW, mushaf yang ada masih terlalu sederhana tulisannya. Jika bukan orang arab, mustahil ada yang bisa membacanya. Ilmu itu disebut sebagai ilmu tajwid yang berfungsi menjelaskan bagaiman cara membaca dan membaguskan bacaan al-Qur’an. Berdasarkan fakta inilah sejarawan ulama’ merumuskan sebuah asumsi bahwa tujuan pokok mempelajari ilmu tajwid adalah menjaga lidah dari kekeliruan dalam mempelajari al-Qur’an.
Mengenai qira’at, Qira’at ialah ilmu untuk mengetahui kalimat al-Qur'an dan perbedaannya, serta mengikuti jalur yang sambung (muttashil) hingga Rasulullah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Umar bin Khattab bahwa pada satu ketika Umar berkata pernah memergoki Hisyam bin Hakim membaca surah Al-Furqan tidak sama dengan bacaan yang diketahui Umar. Beliau hampir saja menindak Hisyam – karena dianggap telah membaca Alqur'an secara tidak tepat – tapi kemudia beliau membiarkannya sampai selesai. Setelah itu Khalifah Umar mengajak Hisyam menemui Rasulullah. Sesampainya di depan Nabi Umar menjelaskan semuanya. Nabi lalu menyuruh Hisyam membaca surah Al-Furqan. Hisyam pun mengulangi bacaannya. Rasulullah kemudian berkata; "Seperti inilah al-Qur'an diturunkan. Sesungguhnya al-Qur'an  diturunkan berdasarkan tujuh huruf. Bacalah bacaan yang mudah dari al-Qur'an." Hadits ini membuktikan bahwa Rasulullah sendiri mengajarkan beberapa macam bacaan kepada para Sahabat. Namun demikian, perbedaan bacaan itu tidaklah prinsipil hingga dapat merubah makna al-Qur'an. Dari sini kemudian muncul bacaan-bacaan para imam yang meriwayatkan dari Sahabat ataupun Tabi'in. Dalam hal ini, setidaknya ada tujuh imam yang berkompetensi dan sangat masyhur di kalangan ahli qira'ah. Bahkan tujuh imam inilah yang bacaannya beredar ke seluruh penjuru dunia.
B. SEJARAH TAJWID SETELAH MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Ketika agama Islam melebarkan sayap ke seluruh dunia, lalu orang-orang non Arab masuk Islam berbondong-bondong, mulailah timbul problem dalam membaca al-Qur’an. Lidah mereka sulit sekali mengucapkan huruf-huruf yang ada di dalam al-Qur’an. Misalnya huruf 'dhad' yang ternyata tidak pernah ada di dalam semua bahasa manusia. Sehingga bahasa arab dikenal juga dengan sebutan bahasa 'dhad'.
Maka dibutuhkan sebuah disiplin ilmu tersendiri tentang bagaimana cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar, sesuai dengan makhraj masing-masing huruf dan sifat-sifatnya. Juga bagaimana cara melafadzkannya, membacanya dari mushaf dan seterusnya. Sebab di masa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam mushaf yang ada masih terlalu sederhana tulisannya. Kalau bukan orang arab, mustahil ada yang bisa membacanya. Ilmu itu dinamakan ilmu tajwid yang berfungsi menjelaskan bagaimana cara membaca dan membaguskan bacaan Alqur'an. Berdasarkan fakta inilah para sejarawan merumuskan sebuah asumsi bahwa tujuan pokok mempelajari ilmu Tajwid ini adalah menjaga lidah dari kekeliruan dalam mempelajari al-Qur'an.[1]
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka. Perkembangan ilmu tajwid bermula sejak zaman Rasulullah SAW, Rasulullah menerima wahyu dari Jibril sudah dengan bertajwid, hanya pada masa itu tidak ditekankan hukumnya dengan terperinci dan dibukukan. Orang yang mula-mula sekali membukukan ilmu ini ialah Imam Al-‘Azim Abu Abid Qasim bin Salam pada kurun yang ke 3 Hijriah.                                                                               
          Ilmuwan sejarah juga menyatakan perkembangan ilmu tajwid di zaman Rasulullah SAW seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu lain. Walaupun begitu, seluruh hukum yang berkaitan seperti hukum nun sakinah, mim sakinah, mad, waqaf dan sebagainya belum dinamakan dan dibukukan.
            Dalam sejarah Islam, disebut-seubt nama Abul Aswad Ad-Du'ali yang berjasa dalam membuat harakat (tanda baris) pada mushaf Alqur'an. Juga membuat tanda-tanda berhenti dalam membacanya (waqaf). Beliau masih termasuk dalam jajaran tabi'in, yaitu satu lapis generasi setelah shahabat Rasulullah. Disebut-sebut bahwa beliau melakukannya atas perintah dari Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, para ulama dari berbagai penjuru negeri Islam mulai berlomba menyempurnakan apa yang telah beliau rintis. Sehingga akhirnya ilmu tajwid menjadi semakin lengkap hingga sekarang I ni.
            Apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah apabila bermulanya kesedaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudian baris-barisnya bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, apabila pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam melakukan kesalahan dalam bacaan.

      Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran dalam enam atau tujuh buah itu, beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya kerana memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah s.a.w sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Quran. Maka al-Quran Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi Karangan ilmu Qiraat yang paling awal sepakat apa yang diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qiraat" pada kurun ke-3 Hijrah. Tetapi ada yang mengatakan apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qiraat adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijrah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qiraat kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah kesemuanya pada masa itu karangan ilmu Tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk Qasidah (puisi) ilmu Tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijrah adalah yang terulung. Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua-dua ilmu ini dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu 'Amr Ad-Dani dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya "Hirzul Amani wa Wajhut Tahani" yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan tokoh-tokoh lain yang sezaman dan yang setelah mereka. Tetapi yang jelas dari karangan-karangan mereka ialah ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat senantiasa bergandengan, ditulis dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya.     
Kemudian lahir pula seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu Tajwid dan Qiraat yaitu Imam (ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan karangan beliau yang masyhur yaitu "An-Nasyr", "Toyyibatun Nasyr" dan "Ad-Durratul Mudhiyyah" yang mengatakan ilmu Qiraat adalah sepuluh sebagai pelengkap bagi apa yang telah dinyatakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya "Hirzul Amani" sebagai Qiraat tujuh. Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya "At-Tamhid" dan puisi beliau yang lebih terkenal dengan nama "Matan Al-Jazariah". Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan al-Quran hingga ke hari ini.[2]
      Ilmuan islam sejak dini telah mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap pemeliharaan Al quran agar terhindar daridistorsi,baik bacaan maupun makna.Diantara upaya yang mereka lakukan adalah mendeskripsikan makhraj dan sifat bunyi bunyi Al quran dengan sangat detail,melebihi dari deskripsi yang dilakukan ilmuan lain sampai sekarang.Ilmu bunyi Al quran tersebut mereka populerkan dengan nama ilmu tajwid dan ilmu qiraat.
      Linguis Arab juga tidak ketinggalan dalam pengkajian bunyi.Khalil bin Ahmad menyusun sebuah kamus bahasa arab,Al’ain,yang entrinya disusun berdasarkan makhraj bunyi yang terjauh di tenggorokan.Penentuan mkhraj sebagai acuan penyusunan entri kamus menyisipkan pengertian bahwa ilmu bunyi sudah popular dikala itu.
       Upaya Khalil bin Ahmad ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh muridnya Sibaweih dengan menyusun sebuah buku yang bernama Al-KItab yang terdiri atas 4 jilid.Dalam jilid ke empat ia membuat BAB khusus tentang bunyi dan menamakan nya dengan bab Al-Idghom.
       Di pihak lain Ibnu Jinni (w. 392H) dalam bukunya,Sirr Ash-Shina’at Al I’rab,memperkenalkan organ bicara;makhraj;sifat sifat bunyi;vocal panjang dan pendek;dan berbagai fenomena bunyi,seperti tebal tipis dan qolqolah.Ini semua menunjukan bahwa Linguis Arab juga mempunyai andil yang besar dalam melahirkan ilmu bunyi.Ilmu ini adalah murni kreativitas dari ilmuan Arab,bukan hasil adopsi dari ilmuwan yunani,seperti yang dituduhkan beberapa kalangan.
        Ilmu tajwid dan ilmu qiraat juga termasuk ilmu yang pertama lahir setelah lahirnya islam,yaitu pada abad III Hijriah ketika Abu Ubaid Qasim bin Salam(w. 224H)meluncurkan bukunya yang berjudul Al’Qiraat.Kemudian disusul oleh Musa bin Abdullah bin Yahya Al Haqani dengan meluncurkan kumpulan syairnya yang diberi nama Qashidah Al-Haqoniyyah yang berisikan bunyi bunyi Al quran.
       Beberapa abad setelah Al Haqani wafat,perhatian ulama terhadap ilmu tajwid sangat besar.Hal ini ditandai dengan banyaknya buku buku yang diluncurkan.Setelah itu,ilmu ini kurang mendapat perhatian linguis dan belakangan perhatian mereka kembali mencuat.
Kurangnya perhatian ulama dalam mengembangkan ilmu tajwid dan ilmu qiraat kemungkinan besar adalah karena kesakralan objeknya,yaitu Al Quran.Kitab suci ini sudah terjamin keautentikannya dan tidak dapat diubah ubah sehingga mengubah tajwid terkesan seperti mengubah Al Quran.
      Stagnasi yang dialami ilmu tajwid dan ilmu qiraat selama beberapa decade,membuat kedua ilmu ini mengalami ketinggalan disbanding dengan ilmu bunyi yang lain,terutama jika dihubungkan dengan sarana teknologi informasi.Oleh sebab itu,pemutakhiran ilmu tajwid dan ilmu qiraat merupakan keharusan demi pelestarian kedua ilmu tersebut.
      Disamping itu untuk pemutakhiran materi,buku ini juga bermaksud untuk menyelaraskan kembali hubungan antara ilmu fonetik umum dengan ilmu tajwid dan ilmu qiraat yang terkesan bersebrangan.
C. KARYA-KARYA ILMU TAJWID DI MASA AWAL
Pada zaman nabi ilmu tajwid telah ada seperti yang di sebutkan dalam Al Qur'an وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا" "
Artinya : "bacalah Al Qur'an dengan tartil" (QS Al Muzammil 73:4)
Itu menunjukan bahwa ilmu tajwid telah ada pada zaman nabi, tetapi belum berkembang pesat seperti di zaman setelah nabi, perkembangan ini dapat di lihat dari banyaknya karya-karya ilmu tajwid yang di kembangkan oleh para ulama' baik yang masih berupa sya'ir atau sudah menjadi bentuk kitab. Diantara para ulama' itu adalah Abu Muzahim Al Haqani (wafat 325H) beliau adalah orang pertama yang mengarang dalam ilmu tajwid. Sumbangsih beliau adalah dalam bentuk sya'ir yang terdiri dari 51 bait[3]. Tetapi dari bait-bait sya'ir beliau itu menjadi rujukan bagi ulama' tajwid setelah masa beliau. Dalam sya'irnya itu beliau tidak menyebutkan ilmu tajwid dengan "al tajwid", tetapi dengan "husnu al ada'i" yang artinya sama dengan al tajwid yaitu memperbagus bacaan. Selanjutnya syeh Sa'id Ali bin Ja'far (wafat 410 h) mengarang kitab "al tanbih ala al lahni al jaliyi wa al lahni al khafiyi" yang menerangkan kesalahan dalam membaca Al Qur'an,selain itu beliau juga mengarang kitab ikhtilafu al qurra'i fi al lami wa al nuni". setelah beliau-beliau wafat muncullah lebih banyak lagi para ulama' yang juga mendalami ilmu tajwid dengan kitab-kitab karangan mereka ,yaitu Makiy bin Abi Tholib Al Qisiy (wafat 437 h) dengan kitab karangannya "al ri'ayatu litajwidi al qira'ati wa tahqiqi lafdhi al tilawati". Kemudian syeh Al danniy (wafat 444 h) mengarang kitab "al tahdidu fi al itqani wa al tajwidi". Syeh Al Danniy juga menjelaskan tajwid dengan mensyarahi bait syi'ir dari syeh Abi Muzahim Al Haqani pada kitabnya yang berjudul "syarhu qasidati abi muzahim al haqani". Dan syeh Abu Al Fadhli Al Razi (wafat 454 h) mengarang juga kitab yang membahas tentang ilmu tajwid, kemudian syeh Abdulwahab al Qurtubi (wafat 462 h) kitab yang berjudul "al maudhihu fi al tajwid". Kemudian pada tahun 751 h lahir lah syeh Ibnu Al Jazari (wafat 833 h),beliau adalah ulama'yang paling terkenal yang mempunyai banyak karangan dalam bidang ilmu tajwid, karangan beliau tidak hanya berupa kitab saja tetapi ada juga yang berbentuk syi'ir yaitu "thoyibatu al nasyri". Syiir ini terdiri dari 107 bait yang membahas tajwid. Selain nadhom imam ibnu Al Jazari juga mengarang banyak kitab   dalam ilmu tajwid yaitu "al nasyru fil qiro'at al asyri", "taqribu al nasyri", "al durrotu al mudhiyatu fil qiro'ati al salasi al mardhiyati", "takhyiru al taisiri", "ghoyatu al maharoti fil ziyadati ala al asyarati","mandhumatu al muqoddimati" (berupa nadhom), "al tamhidu fi ilmi al tajwidi", "ghoyatu al nihayati fi thibaqati al qura'i", "munjidu al muqri'ina". Selain dalam karangan ilmu tajwid imam ibnul jazari juga punya karangan lain di dalam ilmu hadis dan fiqh.

Daftar pustaka:
Salim, Shafwat Mahmud (2011). Fathu rabbi al bariyyah syarhu al muqoddimati al jazariyati. Jiddah: maktabat/u rawa'i'il mamlukati









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ilmu tajwid dan ilmu qiraat merupakan salah satu ilmu yang pertama lahir setelah lahirnya islam,yaitu pada abad 3 Hijriah disebabkan karena banyaknya perbedaan pendapat dikalangan para sahabat dalam membaca al-Qur’an dan hukum yang terdapat didalamnya, seperti cara berhenti dan memulai (waqof wal ibtida), tempat keluar huruf (makhroj), sifat huruf, dan sebagainya.
Ilmu tajwid dan ilmu qiro’at pada dasarnya disusun adalah untuk mempermudah orang-orang mempelajari al-Qur’an dan menghindari kesalahan atau kekeliruan lidah dalam melafadzkannya. Sesuai dengan tujuan awalnya adalah “al-itsyaanu bil jayyid” mendatangkan kepada kebaikan.


[1] Lihat http://arizani84.blogspot.com/2013/08/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_5.html
[2] Lihat : http://seindah-mawar-berduri57.blogspot.com, diakses 17 Desember 2009.
[3] Shafwat Mahmud Salim, fathu rabbil bariyyah syarhu al muqodimati al jazariyati. Hal 14

belajar ilmu tajwid lengkap, ilmu tajwid pdf, ilmu tajwid dasar, ilmu tajwid hukum mad, ilmu tajwid adalah, pengertian ilmu tajwid, ilmu tajwid lengkap dan contohnya, ilmu tajwid lengkap pdf

Comments

Popular posts from this blog

Christoph Luxenberg